Jumat, 14 September 2012

kehidupan setelah mati

Banyak cerita dari berbagai orang di berbagai belahan bumi tentang pengalaman mereka memasuki “kehidupan (kembali) setelah mati”. Sayangnya, separo diantaranya ditulis dan dikisahkan dengan maksud-maksud tertentu; seperti mengajak umat lain berpindah agama, sekadar menakut-nakuti, bahkan mengeksplorasi imajinasi liar yang buat sebagian orang terdengar (maaf) sinting.
Kendati begitu, misteri ada apa di balik kematian, selalu saja mengundang minat dan penasaran. Penyebabnya jelas: Karena kita belum pernah (merasakan) mati, hehe….
Lepas dari beragam cerita yang ada, tetap terselip pesan moral yang bisa dijadikan renungan: Setidaknya, kita “dipaksa” semakin mawas diri saat menjalankan hidup dan kehidupan, sekaligus terus mensyukuri apa yang sudah dan akan kita peroleh.
Berikut ada beberapa cerita tentang kehidupan setelah mati – yang dihimpun dari beragam narasumber dan sengaja  dibuat berseri. Anda bisa menyikapi dengan serius, mempercayai atau tidak mempercayainya, bahkan menganggapnya sekadar bacaan santai penghilang stress. Tak ada masalah untuk itu.
***
Ini kesaksian Aslina, warga Bengkalis yang pernah mengalami matisuri, dan diceritakan  dalam Temu Alumni ESQ beberapa waktu lalu.
Aslina (25 tahun) adalah anak yatim yang berasal dari keluarga sederhana. Sejak kecil, berbagai cobaan telah menghadang  kehidupannya.
Saat berumur tujuh tahun, tubuhnya terbakar api, hingga harus menjalani dua kali operasi. Menjelang SMA, ia keracunan, dan menderita selama tiga tahun. Di  umur 20 tahun, ia terkena penyakit gondok (hipertiroid), yang menyebabkan kerusakan pada jantung dan matanya.
Jumat itu, 24 Agustus 2006, Aslina menjalani check-up  di Rumah Sakit Mahkota Medical Center (MMC) Malaka, Malaysia. Hasil pemeriksaan menyatakan, penyakit gondoknya di ambang batas, sehingga belum bisa dioperasi. Kalaupun dipaksakan operasi bakal terjadi pendarahan.
Maka, Aslina hanya diberi obat. Namun, kondisinya tetap lemah. Malam hari, ia  gelisah luar biasa, hingga oleh pamannya dilarikan kembali ke MMC.
Aslina langsung dimasukkan ke unit gawat darurat (UGD). Saat itu detak
jantungnya tak stabil dan napasnya sesak. “Aslina seperti orang ombak (menjelang sakratulmaut - Red). Lalu, saya ajarkan kalimat thoyyibah dan syahadat. Setelah itu, dalam pandangan saya, Aslina menghembuskan napas terakhir,” ujar Rustam Effendi, sang Paman.
***
“Mati adalah pasti. Saya telah merasakannya. Sungguh, terlalu sakit mati itu,” kata Aslina saat memberikan kesaksian.
Rasa sakit ketika nyawa dicabut, lanjutnya, seperti sakitnya kulit hewan ditarik dari daging, dikoyak; bahkan lebih sakit lagi. “Terasa malaikat mencabut (nyawa) dari kaki kanan saya,” tambahnya.


Ketika ruhnya telah tercabut dari jasad, Aslina menyaksikan di sekelilingnya ada dokter dan pamannya. Ia juga melihat jasadnya yang terbujur. Setelah itu datang dua malaikat serba putih, mengucapkan ’Assalaimualaikum’.
“Malaikat itu besar. Kalau memanggil, jantung rasanya mau copot, gemetar,” katanya. Lalu, salah seorang malaikat itu bertanya: “Siapa Tuhanmu, apa agamamu, di mana kiblatmu, dan siapa nama orangtuamu?”
Ruh Aslina menjawab semua pertanyaan itu dengan lancar. Lalu ia dibawa ke alam barzah. “Tak ada teman, kecuali amal,” tuturnya.
Di alam barzah, Aslina ingin sekali berjumpa dengan (almarhum) ayahnya. Entah kenapa, ia kemudian terdorong begitu saja menganggap dan memanggil salah satu malaikat yang menenaminya sebagai  ’Ayah’.
“Wahai, Ayah, bisakah saya bertemu dengan ayah saya?” ia bertanya.
Lalu, muncullah satu sosok. Ruh Aslina tak mengenal sosok itu, yang tampaknya berusia antara 17-20 tahun – sementara ayahnya meninggal saat berusia 65 tahun. Tapi, ternyata, memang sosok muda itu ayahnya.
Ruh Aslina kemudian mengucapkan salam, dan berkata: “Wahai, Ayah, janji saya telah sampai....”
Mendengar itu, ayahnya menangis, lalu berkata, “Pulanglah ke rumah, kasihan adik-adikmu.”
Ruh Aslina menjawab, “Saya tak bisa pulang, karena janji telah sampai.”
Sang ayah tak menjawab, hanya menunduk bisu. Lalu kedua malaikat tadi membimbing Aslina menemui perempuan yang, menurutnya, beramal
shaleh. Muka wanita itu bercahaya dan wangi.
Ruh Aslina kemudian duduk di kursi empuk, di sebelah wanita berwajah cantik itu, dan bertanya: “Siapa kamu?”
Wanita itu menjawab, “Akulah (amal) kamu....”
Usai itu, Aslina dibawa kedua malaikat dan amalnya berjalan menelurusi lorong waktu untuk melihat-lihat penderitaan manusia yang sedang disiksa. Di sana, ia bertemu seorang laki-laki yang sedang memikul besi 500 ton. Tangannya dirantai ke bahu, pakaiannya koyak-koyak, dan baunya menjijikkan.
Ruh Aslina bertanya kepada amalnya, “Siapa manusia ini?”
Amal Aslina menjawab, ”Dia ketika hidupnya suka membunuh orang.”
Lalu ada orang yang yang kulit dan dagingnya lepas. Ruh Aslina bertanya lagi tentang orang itu. Amalnya menjelaskan, bahwa manusia tersebut tidak pernah shalat.
Selanjutnya tampak manusia yang sedang dihunjamkan besi ke tubuhnya. Ternyata orang itu adalah manusia yang suka berzina. Tampak juga orang-orang  saling bunuh. Manusia itu, dipastikan, ketika hidup suka bertengkar dan mengancam orang lain.
Diperlihatkan juga pada ruh Aslina, orang yang ditusuk dengan 80 tusukan. Setiap tusukan terdapat 80 mata pisau yang tembus ke dadanya, lalu berlumuran darah. Orang tersebut menjerit-jerit, namun tidak ada yang menolong. Ruh Aslina bertanya pada amalnya, dan dijawab, orang tersebut suka membunuh.
Ada pula orang yang dihempaskan ke tanah sampai ’mati’. Orang tersebut ternyata anak yang durhaka dan tidak mau memelihara orangtuanya ketika di dunia.
Perjalanan menelusuri lorong waktu terus berlanjut. Sampailah ruh Aslina pada  malam yang gelap, kelam, dan sangat pekat, sehingga kedua malaikat dan amalnya yang berada di sisinya tak tampak. Tiba-tiba muncul suara orang berucap: Subhanallah, Alhamdulillah, dan Allahu Akbar. Lalu ada yang mengalungkan sesuatu di lehernya, yang ternyata tasbih dengan biji 99 butir.
Dan, perjalanan lanjut lagi. Terlihat tepak tembaga yang sisi-sisinya mengeluarkan cahaya. Di belakang tepak itu terdapat gambar kabah, dan di dalamnya ada batangan emas.
Ruh Aslina bertanya pada amalnya tentang tepak itu. Amalnya menjawab, ”Itu  adalah husnul khatimah.” (Husnul khatimah secara harfiah diartikan sebagai akhir yang baik, yakni keadaan dimana manusia pada akhir hayatnya dalam keadaan (berbuat) baik).
Tiba-tiba ruh Aslina mendengar suara azan, seperti azan di Makkah. Seketika ia berkata kepada amalnya, “Saya mau shalat.”
Lalu kedua malaikat itu melepaskan tangan ruh Aslina. “Saya pun bertayamum, dan shalat seperti orang-orang di dunia,” ungkap Aslina.
Habis itu, ia kembali dibimbing untuk melihat Masjid Nabawi dan makam Nabi Muhammad SAW. Di makam tersebut, batangan-batangan emas di dalam tepak ”husnul khatimah” tadi mengeluarkan cahaya terang. Seperti matahari, tapi agak kecil.
Cahaya itu kemudian berbicara kepada ruh Aslina, “Tolong kau sampaikan kepada umat  untuk bersujud di hadapan Allah....”
Saat itulah Aslina terbangun, dan hidup kembali.
Namun, masih jelas dalam ingatannya saat menyaksikan miliaran manusia dari berbagai abad berkumpul di satu lapangan yang sangat luas, dan melolong-lolong: “Cepatlah kiamat, aku tak tahan lagi di sini, ya, Allah....” Juga rintihan memohon: “Tolong kembalikan aku ke dunia, aku mau beramal....”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar